Wednesday, January 30, 2013

CERPEN " MENJEMPUT MIMPI DI SEBRANG SADDANG"


AZIS

Sutrisno dan Kasmaidi adalah sahabatku sejak kecil. Kami tinggal di desa Malalin yang dipisahkan sungai Saddang dari daerah lainya. Setiap hari kami berangkat ke sekolah bersama-sama, jarak yang kami tempuh menuju SMA Negri 5 Enrekang  lumayan jauh dan berat. Setiap paginya kami harus menumpang perahu pedagang yang hendak menyebrangi sungai, kemudian berjalan kaki sejauh kurang lebih tiga kilometer hingga akhirnya sampai di sekolah.
            Matahari yang terik seakan membakar kulit kami dalam perjalanan pulang dari sekolah. Dahaga dan lapar harus kami tahan karena tak sesenpun rupiah uang  jajan yang diberikan orang tua. Kadang kami minum air sungai untuk sekedar melepas kehausan. Belum lagi ketika tak ada perahu pedagang yang dapat kami tumpangi, terpaksa kami harus mempertaruhkan nyawa untuk berenang menyebrangi sungai agar tidak kemalaman sampai di rumah, dengan resiko hanyut terbawa arus dan bertemu buaya sungai. Baju, sepatu, dan tas sekolah kami tanggalkan dan membungkusnya dengan plastik kresek agar dapat terapung dan tidak basah saat kami berenang.
            Suatu pagi saat menunggu perahu pedagang lewat, aku merasa heran dengan perilaku Sutrisno yang tidak seperti biasanya. Sedangkan  Kasmaidi sudah empat hari tidak berangkat ke sekolah. Sutrisno terlihat murung, raut wajahnya seperti menyimpan masalah besar.
“Tris kamu terlihat sedih, punya masalah yah ?” tanyaku pada Sutrisno.
“Tidak” jawabnya dengan singkat.
Aku semakin heran, tapi aku takut bertanya lebih jauh karena baru kali ini ku melihat Sutrisno seperti itu.
“Ohh begitu, ehhh kenapa dengan Kasmaidi, sudah empat hari dia tidak ke sekolah ?” tanyaku kembali untuk mengalihkan pembicaraan.
 “Medi telah meninggalkan kita War, dia tidak sekolah lagi” jawab Sutrisno dengan air mata mulai menetes.
Ku tersentak mendengar perkataan Sutrisno.
“Memangnya kenapa dengan Medi ?” tanyaku seakan tidak percaya.
Sutrisno hanya menangis dan memberiku secarik kertas dari dalam tasnya. Segera ku ambil dan kubaca tulisan pada kertas tersebut.

Buat sahabatku Aswar dan Sutrisno

Maaf,, saya pergi tanpa pamit pada kalian,
saya dan keluargaku pindah ke Timika.
Disana saya akan bekerja pada somel milik paman ku.
Sekali lagi maaf kawan, semoga kalian sukses.

Kasmaidi”


Aku tak kuasa menahan air mata membaca surat dari Kasmaidi, tiba-tiba Sutrisno menepuk punggungku dan berkata “War, mungkin hari ini adalah hari terakhir kita bersama ke sekolah.”
Spontan ku terhenti dari tangisanku dan menatap wajah Sutrisno.
“Maaf War, saya juga harus berhenti sekolah. Ayahku mulai sakit-sakitan, aku sebagai anak tertua dalam keluargaku harus menggantikan ayahku untuk menggarap sawah dan kebun keluargaku” sambung Sutrisno sambil memelukku dengan erat.
            Hari itu tak ada senyum dari wajahku, tubuhku bagai layu dalam kesedihan. Aku merasa kehilangan kaki untuk melangkah, dan kehilangan tangan untuk menggenggam. Kedua sahabat seperjuanganku yang selama ini menjadi panutan dan penyemangatku kini telah tiada. Hatiku selalu bertanya “apakah aku mampu maju tanpa mereka, ataukah aku harus berhenti seperti mereka?”
“Tidak, aku harus sekolah” jawabku atas pertanyaanku sendiri.
            Ketika berangkat sekolah, tak ada lagi Sutrisno dan Kasmaidi menemaniku. Ku berjalan dan mengarungi sungai Saddang seorang diri, tapi ku tak mau berhenti sekolah walaupun aku tak tau apa yang akan terjadi kedepanya.
            Tidak terasa sebulan lagi aku akan dihadapakn dengan UAN tingkat SMA. Ku lihat di mading sekolah terdapat poster profil universitas terkemuka di Jawa, tanpa pikir panjang poster itu ku copot dari mading dan segera memasukkannya dalam tasku. Aku merasa bahwa suatu saat aku dapat kuliah di universitas tersebut.
            Sesampainya di rumah, aku memperlihatkan poster itu pada Ayah, Ibu, dan kak Syam yang sedang asyik ngobrol.
“Ini universitas terkemuka di Jawa Bu, aku ingin kuliah di sana setelah lulus SMA.”
Mendengar perkataanku Ibu seakan kaget, dan Ayah langsung pergi dengan rauk wajah kecut. Melihat ayah pergi, aku merasa telah mengucapkan sesuatu yang menyinggung perasaannya.
“Inikan jauh nak, dan butuh uang banyak untuk mendaftar kuliah” kata Ibu memberikan penjelasan padaku.
“Tapi aku mau kuliah Bu” pintaku dengan penuh pengharapan.
“Nak, kamu harus sadar, untuk makan saja kita susah carinya, di mana Ibu dan Ayahmu dapat uang untuk itu” kata Ibu dengan tegas.
Kak Syam yang kuharap membantuku berbicara pada ibu hanya diam kebingungan. Akhirnya aku masuk kamar dengan penuh kekecewaan. Kak Syam mengikutiku kedalam kamar, dia mencoba menghiburku tapi aku tak peduli karena aku terlanjur kecewa padanya. Merasa tak diacuhkan, kak Syam akhirnya pergi, sebelum keluar dari kamarku dia berkata “lakukanlah yang terbaik hari ini Aswar, maka kamu akan dapatkan hari esok”.
            Aku selalu teringat dan berusaha memahami maksud dari perkataan itu. Ku pajang poster universitas tersebut pada pintu kamarku, setiap hari kupandangi, dan terkadang aku berhayal menjadi seorang mahasiswa saat asyik memandang poster tersebut.
            UAN telah tiba, selama satu minggu aku mengikuti ujian tersebut. Semua soal dapat ku jawab dengan baik, aku merasa usahaku selama tiga tahun tidaklah sia-sia. Tetapi aku belum tahu langkah apa yang akan kuambil setelah lulus SMA. Keinginanku untuk kuliah seakan pupus karena perokonomian keluarga.
            Pengumuman kelulusan sudah di depan mata, Pak Andi membagikan amplop berisi tulisan lulus atau tidak sesuai nama siswa yang tertera pada amplop tersebut. Aku tak kunjung mendapat amplop, tiba-tiba Pak Andi memanggilku “Aswar, kamu ditunggu bapak kepala sekolah di ruangannya sekarang.”
Perasaanku kacau dan mulai berkeringat dingin.
“A a ada apa pak ?” tanyaku dengan suara terbata-bata.
“Ada hal penting yang harus dibicarakan bapak kepala sekolah padamu”  jawab pak Andi.
            Aku menuju ruangan kepala sekolah dengan perasaan takut, mungkin aku tidak lulus sehingga kepala sekolah memanggilku.
“Tok tok tok  assalamualaikum.”
“Walaikumsalam, silahkan masuk dan duduk nak !”
Aku segara masuk dan duduk di sebuah kursi.
“Maaf, Bapak memanggil saya ?” tanyaku dengan gugup.
Kepala sekolah tersenyum melihat ekspresiku dan memberikan amplop padaku.
“Ini untukmu nak, buka sekarang !”
Kuambil dan ku buka aplop tersebut dengan tangan yang bergetar. Isi amplop berupa gambar universitas persis pada poster yang kucopot di mading sekolah dan selembar keterangan beasiswa.
“ini apa Pak ?” tanyaku kembali.
“Selamat nak, kamu mendapatkan nilai kelulusan terbaik tahun ini, dan kamu berhak mendapatkan beasiswa kuliah S1 di Jawa” jelas Pak kepala sekolah.
           
Aku tidak pernah menyangka, hayalanku bukan lagi sekedar mimpi, tapi sebuah kenyataan.

"LAKUKANLAH YANG TERBAIK HARI INI, MAKA KAMU AKAN DAPATKAN HARI ESOK...!!!"



TOLONG SARAN DAN KOMENTARNYA YAH SOBAT....!!!

No comments :

Post a Comment