AZIS
Sutrisno
dan Kasmaidi adalah sahabatku sejak kecil. Kami tinggal di desa Malalin yang
dipisahkan sungai Saddang dari daerah lainya. Setiap hari kami berangkat ke sekolah
bersama-sama, jarak yang kami tempuh menuju SMA Negri 5 Enrekang lumayan jauh dan berat. Setiap paginya kami
harus menumpang perahu pedagang yang hendak menyebrangi sungai, kemudian
berjalan kaki sejauh kurang lebih tiga kilometer hingga akhirnya sampai di
sekolah.
Matahari yang terik seakan membakar
kulit kami dalam perjalanan pulang dari sekolah. Dahaga dan lapar harus kami
tahan karena tak sesenpun rupiah uang
jajan yang diberikan orang tua. Kadang kami minum air sungai untuk
sekedar melepas kehausan. Belum lagi ketika tak ada perahu pedagang yang dapat
kami tumpangi, terpaksa kami harus mempertaruhkan nyawa untuk berenang
menyebrangi sungai agar tidak kemalaman sampai di rumah, dengan resiko hanyut
terbawa arus dan bertemu buaya sungai. Baju, sepatu, dan tas sekolah kami
tanggalkan dan membungkusnya dengan plastik kresek agar dapat terapung dan
tidak basah saat kami berenang.
Suatu pagi saat menunggu perahu
pedagang lewat, aku merasa heran dengan perilaku Sutrisno yang tidak seperti
biasanya. Sedangkan Kasmaidi sudah empat
hari tidak berangkat ke sekolah. Sutrisno terlihat murung, raut wajahnya
seperti menyimpan masalah besar.
“Tris
kamu terlihat sedih, punya masalah yah ?” tanyaku pada Sutrisno.
“Tidak”
jawabnya dengan singkat.
Aku
semakin heran, tapi aku takut bertanya lebih jauh karena baru kali ini ku
melihat Sutrisno seperti itu.
“Ohh
begitu, ehhh kenapa dengan Kasmaidi, sudah empat hari dia tidak ke sekolah ?” tanyaku
kembali untuk mengalihkan pembicaraan.
“Medi telah meninggalkan kita War, dia tidak
sekolah lagi” jawab Sutrisno dengan air mata mulai menetes.
Ku
tersentak mendengar perkataan Sutrisno.
“Memangnya
kenapa dengan Medi ?” tanyaku seakan tidak percaya.
Sutrisno
hanya menangis dan memberiku secarik kertas dari dalam tasnya. Segera ku ambil
dan kubaca tulisan pada kertas tersebut.
“Buat
sahabatku Aswar dan Sutrisno
Maaf,,
saya pergi tanpa pamit pada kalian,
saya
dan keluargaku pindah ke Timika.
Disana
saya akan bekerja pada somel milik paman ku.
Sekali
lagi maaf kawan, semoga kalian sukses.
Kasmaidi”
Aku
tak kuasa menahan air mata membaca surat dari Kasmaidi, tiba-tiba Sutrisno menepuk
punggungku dan berkata “War, mungkin hari ini adalah hari terakhir kita bersama
ke sekolah.”
Spontan
ku terhenti dari tangisanku dan menatap wajah Sutrisno.
“Maaf
War, saya juga harus berhenti sekolah. Ayahku mulai sakit-sakitan, aku sebagai
anak tertua dalam keluargaku harus menggantikan ayahku untuk menggarap sawah
dan kebun keluargaku” sambung Sutrisno sambil memelukku dengan erat.
Hari itu tak ada senyum dari
wajahku, tubuhku bagai layu dalam kesedihan. Aku merasa kehilangan kaki untuk
melangkah, dan kehilangan tangan untuk menggenggam. Kedua sahabat
seperjuanganku yang selama ini menjadi panutan dan penyemangatku kini telah
tiada. Hatiku selalu bertanya “apakah aku mampu maju tanpa mereka, ataukah aku
harus berhenti seperti mereka?”
“Tidak,
aku harus sekolah” jawabku atas pertanyaanku sendiri.
Ketika berangkat sekolah, tak ada
lagi Sutrisno dan Kasmaidi menemaniku. Ku berjalan dan mengarungi sungai
Saddang seorang diri, tapi ku tak mau berhenti sekolah walaupun aku tak tau apa
yang akan terjadi kedepanya.
Tidak terasa sebulan lagi aku akan
dihadapakn dengan UAN tingkat SMA. Ku lihat di mading sekolah terdapat poster
profil universitas terkemuka di Jawa, tanpa pikir panjang poster itu ku copot
dari mading dan segera memasukkannya dalam tasku. Aku merasa bahwa suatu saat aku
dapat kuliah di universitas tersebut.
Sesampainya di rumah, aku
memperlihatkan poster itu pada Ayah, Ibu, dan kak Syam yang sedang asyik
ngobrol.
“Ini
universitas terkemuka di Jawa Bu, aku ingin kuliah di sana setelah lulus SMA.”
Mendengar
perkataanku Ibu seakan kaget, dan Ayah langsung pergi dengan rauk wajah kecut.
Melihat ayah pergi, aku merasa telah mengucapkan sesuatu yang menyinggung
perasaannya.
“Inikan
jauh nak, dan butuh uang banyak untuk mendaftar kuliah” kata Ibu memberikan
penjelasan padaku.
“Tapi
aku mau kuliah Bu” pintaku dengan penuh pengharapan.
“Nak,
kamu harus sadar, untuk makan saja kita susah carinya, di mana Ibu dan Ayahmu
dapat uang untuk itu” kata Ibu dengan tegas.
Kak
Syam yang kuharap membantuku berbicara pada ibu hanya diam kebingungan. Akhirnya
aku masuk kamar dengan penuh kekecewaan. Kak Syam mengikutiku kedalam kamar,
dia mencoba menghiburku tapi aku tak peduli karena aku terlanjur kecewa padanya.
Merasa tak diacuhkan, kak Syam akhirnya pergi, sebelum keluar dari kamarku dia
berkata “lakukanlah yang terbaik hari ini Aswar, maka kamu akan dapatkan hari
esok”.
Aku selalu teringat dan berusaha
memahami maksud dari perkataan itu. Ku pajang poster universitas tersebut pada
pintu kamarku, setiap hari kupandangi, dan terkadang aku berhayal menjadi
seorang mahasiswa saat asyik memandang poster tersebut.
UAN telah tiba, selama satu minggu aku
mengikuti ujian tersebut. Semua soal dapat ku jawab dengan baik, aku merasa
usahaku selama tiga tahun tidaklah sia-sia. Tetapi aku belum tahu langkah apa
yang akan kuambil setelah lulus SMA. Keinginanku untuk kuliah seakan pupus
karena perokonomian keluarga.
Pengumuman kelulusan sudah di depan
mata, Pak Andi membagikan amplop berisi tulisan lulus atau tidak sesuai nama
siswa yang tertera pada amplop tersebut. Aku tak kunjung mendapat amplop, tiba-tiba
Pak Andi memanggilku “Aswar, kamu ditunggu bapak kepala sekolah di ruangannya
sekarang.”
Perasaanku
kacau dan mulai berkeringat dingin.
“A a
ada apa pak ?” tanyaku dengan suara terbata-bata.
“Ada
hal penting yang harus dibicarakan bapak kepala sekolah padamu” jawab pak Andi.
Aku menuju ruangan kepala sekolah
dengan perasaan takut, mungkin aku tidak lulus sehingga kepala sekolah
memanggilku.
“Tok
tok tok assalamualaikum.”
“Walaikumsalam,
silahkan masuk dan duduk nak !”
Aku
segara masuk dan duduk di sebuah kursi.
“Maaf,
Bapak memanggil saya ?” tanyaku dengan gugup.
Kepala
sekolah tersenyum melihat ekspresiku dan memberikan amplop padaku.
“Ini
untukmu nak, buka sekarang !”
Kuambil
dan ku buka aplop tersebut dengan tangan yang bergetar. Isi amplop berupa
gambar universitas persis pada poster yang kucopot di mading sekolah dan
selembar keterangan beasiswa.
“ini
apa Pak ?” tanyaku kembali.
“Selamat
nak, kamu mendapatkan nilai kelulusan terbaik tahun ini, dan kamu berhak
mendapatkan beasiswa kuliah S1 di Jawa” jelas Pak kepala sekolah.
Aku tidak
pernah menyangka, hayalanku bukan lagi sekedar mimpi, tapi sebuah kenyataan.
"LAKUKANLAH YANG TERBAIK HARI INI, MAKA KAMU AKAN DAPATKAN HARI ESOK...!!!"
TOLONG SARAN DAN KOMENTARNYA YAH SOBAT....!!!
TOLONG SARAN DAN KOMENTARNYA YAH SOBAT....!!!
No comments :
Post a Comment