UNSUR-UNSUR
INTRINSIK PROSA
Yang dimaksud
unsur-unsur intrinsik dalam sebuah karya sastra adalah unsur-unsur pembangun
karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. Untuk
karya sastra dalam bentuk prosa, seperi roman, novel, dan cerpen, unsur-unsur
intrinsiknya ada tujuh: 1) tema, 2) amanat, 3) tokoh, 4) alur (plot), 5) latar (setting), 6) sudut pandang, dan 7) gaya bahasa.
1.
Tema
Gagasan, ide, atau
pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra disebut tema. Atau gampangnya,
tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita, sesuatu yang menjiwai cerita,
atau sesuatu yang menjadi pokok masalah dalam cerita.
Tema merupakan jiwa
dari seluruh bagian cerita. Karena itu, tema menjadi dasar pengembangan seluruh
cerita. Tema dalam banyak hal bersifat ”mengikat” kehadiran atau ketidakhadiran
peristiwa, konflik serta situasi tertentu, termasuk pula berbagai unsur
intrinsik yang lain.
Tema ada yang
dinyatakan secara eksplisit (disebutkan) dan ada pula yang dinyatakan secara
implisit (tanpa disebutkan tetapi dipahami). Dalam menentukan tema, pengarang
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: minat pribadi, selera pembaca,
dan keinginan penerbit atau penguasa.
Dalam sebuah karya
sastra, disamping ada tema sentral, seringkali ada pula tema sampingan. Tema
sentral adalah tema yang menjadi pusat seluruh rangkaian peristiwa dalam
cerita. Adapun tema sampingan adalah tema-tema lain yang mengiringi tema
sentral.
2)
Amanat
Amanat adalah ajaran
moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya.
Sebagaimana tema, amanat dapat disampaikan secara implisit yaitu dengan cara
memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku atau peristiwa yang
terjadi pada tokoh menjelang cerita berakhir, dan dapat pula disampaikan secara
eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran,
atau larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita.
3)
Tokoh
Tokoh adalah individu
ciptaan/rekaan pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa atau lakuan dalam berbagai
peristiwa cerita. Pada umumnya tokoh berwujud manusia, namun dapat pula
berwujud binatang atau benda yang diinsankan.
Tokoh dapat dibedakan
menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh
yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita.
Tokoh sentral dibedakan menjadi dua,
yaitu:
1.
Tokoh sentral protagonis, yaitu tokoh
yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai positif.
2.
Tokoh sentral antagonis, yaitu tokoh
yang membawakan perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau
menyampaikan nilai-nilai negatif.
Adapun tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh
yang mendukung atau membantu tokoh sentral. Tokoh bawahan dibedakan menjadi
tiga, yaitu:
1.
Tokoh andalan. Tokoh andalan adalah
tokoh bawahan yang menjadi kepercayaan tokoh sentral (baik protagonis ataupun
antagonis).
2.
Tokoh tambahan. Tokoh tambahan adalah tokoh
yang sedikit sekali memegang peran dalam peristiwa cerita.
3.
Tokoh lataran. Tokoh lataran adalah tokoh yang
menjadi bagian atau berfungsi sebagai latar cerita saja.
Penokohan
adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Ada dua metode
penyajian watak tokoh, yaitu:
1.
Metode analitis/langsung/diskursif,
yaitu penyajian watak tokoh dengan cara memaparkan watak tokoh secara langsung.
2.
Metode dramatik/tak langsung/ragaan,
yaitu penyajian watak tokoh melalui pemikiran, percakapan, dan lakuan tokoh
yang disajikan pengarang. Bahkan dapat pula dari penampilan fisiknya serta dari
gambaran lingkungan atau tempat tokoh.
Adapun menurut Jakob Sumardjo dan Saini KM,
ada lima cara menyajikan watak tokoh, yaitu:
1.
Melalui apa yang diperbuatnya,
tindakan-tindakannya, terutama bagaimana ia bersikap dalam situasi kritis.
2.
Melalui ucapana-ucapannya. Dari ucapan
kita dapat mengetahui apakah tokoh tersebut orang tua, orang berpendidikan,
wanita atau pria, kasar atau halus.
3.
Melalui penggambaran fisik tokoh.
4.
Melalui pikiran-pikirannya
5.
Melalui penerangan langsung
4)
Alur (Plot)
Alur adalah urutan atau
rangkaian peristiwa dalam cerita. Alur dapat disusun berdasarkan tiga hal, yaitu:
1.
Berdasarkan urutan waktu terjadinya
(kronologi). Alur yang demikian disebut alur linear.
2.
Berdasarkan hubungan sebab akibat
(kausal). Alur yang demikian disebut alur kausal.
3.
Berdasarkan tema cerita. Alur yang
demikian disebut alur tematik. Dalam cerita yang beralur tematik, setiap
peristiwa seolah-olah berdiri sendiri. Kalau salah satu episode dihilangkan
cerita tersebut masih dapat dipahami.
Adapun struktur alur adalah sebagai berikut:
1.
Bagian awal, terdiri atas: 1) paparan
(exposition), 2) rangsangan (inciting moment), dan 3) gawatan (rising action).
2.
Bagian tengah, terdiri atas: 4) tikaian
(conflict), 5) rumitan (complication), dan 6) klimaks.
3.
Bagian akhir, terdiri atas: 7) leraian
(falling action), dan 8- selesaian (denouement).
Dalam membangun alur, ada beberapa
faktor penting yang perlu diperhatikan agar alur menjadi dinamis. Faktor-faktor
penting tersebut adalah:
1.
Faktor kebolehjadian. Maksudnya,
peristiwa-peristiwa cerita sebaiknya tidak selalu realistik tetapi masuk akal.
2.
Faktor kejutan. Maksudnya,
peristiwa-peristiwa sebaiknya tidak dapat secara langsung ditebak / dikenali
oleh pembaca.
3.
Faktor kebetulan. Yaitu
peristiwa-peristiwa tidak diduga terjadi, secara kebetulan terjadi.
Kombinasi atau variasi ketiga faktor
tersebutlah yang menyebabkan alur menjadi dinamis.
Adapun hal yang harus
dihindari dalam alur adalah lanturan (digresi). Lanturan adalah peristiwa atau
episode yang tidak berhubungan dengan inti cerita atau menyimpang dari pokok
persoalan yang sedang dihadapi dalam cerita.
5.
Latar (setting)
Latar adalah segala
keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, suasana,
dan situasi terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar dapat dibedakan ke dalam
tiga unsur pokok:
a.
Latar tempat, mengacu pada lokasi
terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
b.
Latar waktu, berhubungan dengan masalah
‘kapan’ terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya
fiksi.
c.
Latar sosial, mengacu pada hal-hal yang
berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan
dalam karya fiksi. Latar sosial bisa mencakup kebiasaan hidup, adat istiadat,
tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, serta status
sosial.
6.
Sudut pandang (point of view)
Sudut pandang adalah
cara memandang dan menghadirkan tokoh-tokoh cerita dengan menempatkan dirinya
pada posisi tertentu. Dalam hal ini, ada dua macam sudut pandang yang bisa
dipakai:
a. Sudut pandang orang pertama (first
person point of view)
Dalam pengisahan cerita
yang mempergunakan sudut pandang orang pertama, ‘aku’, narator adalah seseorang
yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si ‘aku’ tokoh yang berkisah,
mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa atau tindakan,
yang diketahui, dilihat, didengar, dialami dan dirasakan, serta sikapnya
terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Jadi, pembaca hanya dapat melihat
dan merasakan secara terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh si ‘aku’
tersebut.
Sudut pandang orang
pertama masih bisa dibedakan menjadi dua:
1.
‘Aku’ tokoh utama. Dalam sudut pandang
teknik ini, si ‘aku’ mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang
dialaminya, baik yang bersifat batiniyah, dalam diri sendiri, maupun fisik, dan
hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya. Si ‘aku’ menjadi fokus pusat
kesadaran, pusat cerita. Segala sesuatu yang di luar diri si ‘aku’, peristiwa,
tindakan, dan orang, diceritakan hanya jika berhubungan dengan dirinya, di
samping memiliki kebebasan untuk memilih masalah-masalah yang akan diceritakan.
Dalam cerita yang demikian, si ‘aku’ menjadi tokoh utama (first person
central).
2.
‘Aku’ tokoh tambahan. Dalam sudut
pandang ini, tokoh ‘aku’ muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai
tokoh tambahan (first pesonal peripheral). Tokoh ‘aku’ hadir untuk membawakan
cerita kepada pembaca, sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian
”dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Tokoh cerita yang
dibiarkan berkisah sendiri itulah yang kemudian menjadi tokoh utama, sebab
dialah yang lebih banyak tampil, membawakan berbagai peristiwa, tindakan, dan
berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Setelah cerita tokoh utama habis, si ‘aku’
tambahan tampil kembali, dan dialah kini yang berkisah. Dengan demikian si
‘aku’ hanya tampil sebagai saksi saja. Saksi terhadap berlangsungnya cerita
yang ditokohi oleh orang lain. Si ‘aku’ pada umumnya tampil sebagai pengantar
dan penutup cerita.
b. Sudut pandang orang ketiga (third
person point of view)
Dalam cerita yang
menpergunakan sudut pandang orang ketiga, ‘dia’, narator adalah seorang yang
berada di luar cerita, yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut
nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya
yang utama, kerap atau terus menerus disebut, dan sebagai variasi dipergunakan
kata ganti.
Sudut pandang ‘dia’
dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan
keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya:
1.
‘Dia’ mahatahu. Dalam sudut pandang ini,
narator dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh ‘dia’
tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu (omniscient). Ia
mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk
motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja
dalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah dari tokoh ‘dia’ yang
satu ke ‘dia’ yang lain, menceritakan atau sebaliknya ”menyembunyikan” ucapan
dan tindakan tokoh, bahkan juga yang hanya berupa pikiran, perasaan, pandangan,
dan motivasi tokoh secara jelas, seperti halnya ucapan dan tindakan nyata.
2.
‘Dia’ terbatas (‘dia’ sebagai pengamat).
Dalam sudut pandang ini, pengarang mempergunakan orang ketiga sebagai pencerita
yang terbatas hak berceritanya, terbatas pengetahuannya (hanya menceritakan apa
yang dilihatnya saja).
7.
Gaya bahasa
Gaya bahasa adalah
teknik pengolahan bahasa oleh pengarang dalam upaya menghasilkan karya sastra
yang hidup dan indah. Pengolahan bahasa harus didukung oleh diksi (pemilihan
kata) yang tepat. Namun, diksi bukanlah satu-satunya hal yang membentuk gaya
bahasa.
Gaya bahasa merupakan
cara pengungkapan yang khas bagi setiap pengarang. Gaya seorang pengarang tidak
akan sama apabila dibandingkan dengan gaya pengarang lainnya, karena pengarang
tertentu selalu menyajikan hal-hal yang berhubungan erat dengan selera
pribadinya dan kepekaannya terhadap segala sesuatu yang ada di sekitamya.
Gaya bahasa dapat
menciptakan suasana yang berbeda-beda: berterus terang, satiris, simpatik,
menjengkelkan, emosional, dan sebagainya. Bahasa dapat menciptakan suasana yang
tepat bagi adegan seram, adegan cinta, adegan peperangan dan lain-lain.
No comments :
Post a Comment